Home INdonesiana Tren Perceraian dan Pelecehan Seksual di Balik Kebijakan Sertifikat Pranikah 
INdonesiana - November 25, 2019

Tren Perceraian dan Pelecehan Seksual di Balik Kebijakan Sertifikat Pranikah 

KementerianKordinator bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melontarkan wacana sertifikasi bagi calon pasangan siap nikah yang menimbulkan pro – kontra. Apa sebenarnya misi di balik kebijakan ini ? 

Dikutip dari Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) bertema : “Perlukah Sertifikasi Perkawinan” (22/11), pihak Kemenko PMK merilis latar belakang kebijakan tersebut. Bagaimana kondisi rumah tangga di Indonesia secara umum? Menurut data Survey Sosial Ekonoomi Nasional (Susenas), sedikitnya terjadi 11,2% perkawinan anak alias perkawinan di bawah umur. Sepanjang tahun 2018, menurut Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung ada 375.714 kasus perceraian dan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Adapun data Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan (KPPPA) menunjukkan bahwa 1.220 pelaku kekerasan keluarga adalah orang tua dan 2.825 pelaku lainnya adalah suami/istri. Yang lebih menyedihkan lagi menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2017 sedikitnya ada 393 anak mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Berdasarkan fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa Kementerian PMK mempunyai landasan rasional. Apalagi bila keputusan tersebut dikaitkan dengan piramida penduduk Indonesia yang “gemuk” di bagian kelompok umur produktif dan anak – anak. 

Visi pemerintahan Joko Widodo untuk membangun sumber daya manusia (SDM) unggul harus didukung dengan kebijakan sektor lain. Apa yang ditunjukkan oleh hasil survei Susenas tahun 2018 jelas akan menghambat program SDM Unggul bila angka pernikahan anak di bawah umur tinggi. Dengan sendirinya program pendidikan tak dapat diikuti  oleh anak – anak usia sekolah paska anak berumahtangga. Tak kalah mirisnya adalah meningkatnya angka perceraian dari tahun ke tahun. 

Pernikahan dini (di bawah umur) dan tren naiknya angka perceraian menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Resiko – resiko kesehatan pada anak hasil perkawinan di bawah umur beragam dan berbahaya, misalnya stunting dan gizi buruk. Tugas pemerintah saat ini adalah mencegah dan menanggulangi ekses – ekses pernikahan di bawah umur.

Substansi dari sertifikasi pranikah sederhana, yakni pembekalan ilmu tentang kesehatan keluarga, keuangan, psikologi serta pengasuhan anak kepada pasangan yang akan menikah. Setelah melewati proses ini calon pengantin diberikan sertifikat layak untuk menikah. Diharapkan pasangan menikah bisa menata rumah tangga dan mempertahankan pernikahan sampai maut memisahkan.

Hukum Agama

Bagaimana kaitannya dengan hukum agama? Pernikahan adalah hak asasi setiap orang dan dianjurkan oleh agama apa pun. Selain masalah teologis, persoalan hak asasi manusia (HAM) bakal mewarnai polemik kebijakan ini. Untuk Indonesia dengan mayoritas Muslim perlu ekstra hati – hati untuk sosialisasikan program agar tidak terjebak dalam perdebatan teologis.

“Sertikasi perkawinan yang didahului dengan bimbingan dan penyuluhan persiapan pernikahan sesungguhnya memperkuat ketahanan keluarga,” demikian menurut Direktur Bina KUA (Kantor Urusan Agama) dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag) Mohsen dalam acara di atas.

Menurutnya, Kemenag melalui KUA sudah melakukan hal itu sejak dulu (biasa disebut ‘penasihat perkawinan’). Isi bimbingan antara lain perspektif mengenai kepemimpinan kepala keluarga, kesetaraan gender, masalah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) hingga masalah HAM. Setelah usai, peserta diberikan sertifikat oleh penyelenggara bimbingan dan penyuluhan pernikahan. 

“Lembaga yang memberikan layanan itu harus ada standarisasi oleh negara agar kompeten dalam melakukan bimbingan dan penyuluhan pernikahan.”

Pernyataan dari wakil Kemenag ini setidaknya bisa menjadi rujukan. Diharapkan tidak ada lagi polemik tajam soal sertifikasi pranikah, Bagaimana pun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menyejahterakan calon pasangan.

Hal penting yang bisa dicatat adalah bahwa sesungguhnya pasangan suami- istri bisa menjadi agen sosialisasi kebijakan ini, terutama ke anak-anaknya sendiri dulu.