
SEMUA KITA, KINI ADALAH JURNALIS
Era digital, nyaris merubah segala cara dan kebiasaan kita.
Bahkan, dalam catatan saya, adanya profesi yang kini saling-silang dalam makna yang positif, keren dan tentu saja produktif, pada keseharian mereka yang menggunakan media sosial.
Sebutlah itu profesi baru:
“Aktifis media sosial”
Namun yang paling menarik adalah, muncul “jurnalis-jurnalis” yang menguasai beberapa teknik jurnalistik dengan sangat baik bahkan terampil. Melampaui ekspektasi kita, jika melihat profesinya yang bukan jurnalis atau wartawan.
Semisal, menulis status, caption foto, catatan perjalanan kegiatan, kisah dibalik foto dokumentasi, dan foto-foto pilihan dengan angle yang kualifaid a la foto jurnalistik.

Jika boleh menyebut dua nama di Facebook ini, sebut saja misalnya Endeng Mursalin dan Dewa Budjana.
Endeng, adalah pelukis, yang memadukan beragam aliran dalam karya-karyanya. Ia kerapkali menampilkan karya lukisnya pada ruang-ruang yang out of box, sangat ekspresif, dengan cara dan gaya melukis yang jauh dari kesan konvensional.
Pada suatu momen, Endeng menjadikan tiang pancang Jembatan Palu 2 yang ikonik itu, sebagai kanvas besarnya. Tak lama, Tsunami menyapu bersih semuanya.
Ia kerap melukis tanpa kuas. Seluruh bagian tubuhnya adalah “kuas” yang eksperimentatif baginya.
Gitaris Slank pernah memainkan Blues di atas panggung. Disaat yang bersama, senada dengan scale Blues, Endeng memainkan tubuhnya, sebagai kuas penuh lumpur yang diambil dari lokasi bencana likuifaksi, sebagi cat-nya.
Ketika wabah Pandemi Covid19 menganjurkan untuk jaga jarak sosial, ia juga melakukannya dengan melukis ditengah terik mentari, bertelanjang dada. Menjadikan dirinya kuas, yang menggugah kesadaran transendental manusia.
Sebagai seniman, Endeng Mursalim, penikmat musik The Rolling Stones ini, adalah sosok yang lengkap dan memesona.
Hebatnya, ia merekam, memotret dan menyajikan dokumentasi karyanya dengan pemahaman jurnalisme yang melampaui para jurnalis itu sendiri. Membantu saya untuk menulisnya dengan lebih kaya dari berbagai presepektif
Kemudian Dewa Budjana. Sahabat hebat yang teduh tanpa konflik. Kecuali berkarya dan melanglang buana dengan karya-karyanya yang berbobot kultural.
Kisahnya lebih panjang dari apa yang kita bisa sampaikan secara lisan maupun tulisan.

Yang bisa menuliskan kisahnya dengan lengkap secara obyektif, jujur dan jernih adalah dirinya sendiri. Dan, saya kini sedang mengulik kisahnya.
Simaklah akun media sosialnya.
Budjana, tak sembarang menorehkan status di akun facebook maupun instagramnya.
Seperti gaya musikalitasnya, ia melakukannya dengan “hati” bahkan sangat “hati-hati”. Namun sepenuh hati agar orang lain mahfum adanya.
Tapi itu yang membuat saya selalu mengikuti beragam status dan catatan perjalanan kariernya.
Seakan sedang membaca sebuah buku jurnalistik tentang cara menulis yang populer dan disukai, setiap kali melihat statusnya.
Budjana menyampaikan gaya “jurnalisme”nya sendiri. Tanpa sadar, itulah sejatinya menulis dengan, baik sekaligus indah.
Ada harmoni…
Ada keserasian…
Ada kejernihan…
Ada pula keindahan…
Jika, Dewa Budjana dan Endeng Mursalim, telah menjadi “jurnalis” dalam makna filosofis, lalu, apakah jurnalis seperti saya, boleh menjadi seniman?
Nampaknya lintas profesi itu, kini ada di depan mata dilayar handphone kita.
Rasanya, dunia digital hari ini, telah membawa saya, Bli Budjana, Aba Endeng, dan kita semua ke era;
“Universalisme yang (nyaris) tanpa batas”.
Satu-satunya yang nantinya menjadi pembeda adalah, “karya”.
“Siapa berkarya apa?”
Selamat Merayakan Idul Fitri 1441H
“Mohon Maaf Lahir dan Bathin dengan Penuh Keikhlasan”.
25 Mei 2020 Masehi
2 Syawal 1441 Hijriyah
#BelajarMenulisLebihBaik