Home INdonesiana Rembukan Desa Damai: Etika dan Cara Membangun Komunikasi Kreatif di Tengah Krisis
INdonesiana - January 30, 2021

Rembukan Desa Damai: Etika dan Cara Membangun Komunikasi Kreatif di Tengah Krisis

Intoleransi, Radikalisme dan Esktemisme kekerasan masih menjadi tantangan di Indonesia, Wahid Foundation mendorong perempuan sebagai aktor perdamaian di 10 Desa Damai. Dalam upaya – upaya mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan, setahun belakangan ini Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dan persoalan yang muncul akibat Pandemi Covid19 di berbagai sektor; ekonomi, kesehatan pendidikan maupun sosial. Berbagai upaya mewujudkan keadilan di tengah masyarakat melalui pembangunan telah dilakukan. Namun, lagi-lagi, hal ini juga masih belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan kelompok rentan salah satunya kelompok perempuan dan anak. Dalam laporan pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan selama pandemi Covid19 kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga meningkat. Selain itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga merilis bahwa kekerasan terhadap anak meningkat selama Pandemi Covid19. Persoalan tersebut perlu mendapatkan perhatian seluruh masyarakat khususnya komunitas komunal di tingkat Desa dan Kelurahan.

Kementerian Informasi dan Teknologi mencatat ada 850 hoax kesehatan sepanjang setahun 2020. Hal ini memberikan reaksi meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender, kejahatan digital dan hoax kesehatan selama krisis Pandemi, seperti misalnya propaganda penolakan vaksin dari kelompok berbasis ideologi muncul mewarnai media sosial. 

Upaya pemerintah dan masyarakat sipil untuk membuat ruang kolaborasi dalam upaya penguatan pencegahan ekstemisme kekerasan diakomodir oleh pemerintah melalui Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang RAN PE yang disahkan pada 6 Januari 2021. Ini nampak menjadi angin segar bagi kerja-kerja pencegahan dan penanggulangan krisis berbasis perbedaan ideologi etnis maupun agama yang harapannya bisa menangkal aksi intoleran, radikal dan ekstrem. “RAN PE ini jelas langkah maju. Di negara lain, ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil dalam mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme cenderung dibatasi. Padahal kita sama-sama paham bahwa persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan saja. Perlu ada pendekatan kemanusiaan, pendekatan keagamaan dan juga Pendidikan. Setidaknya, kita bisa menambah list positif dalam upaya pembangunan perdamaian di negara kita.” ujar Zanuba Arifah Chafsoh yang biasa dipanggil Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation.

Menurut Yenny, Indonesia harus mulai menyusun rencana – rencana dan strategi baru menanghadapi krisis global diantaranya menyesuaikan dengan kebiasan baru dan pemanfaatan dunia teknologi yang lebih masif. “Situasi ini tentu perlu direspon bersama, tidak hanya bagi pemangku kebijakan tetapi juga keterlibatan masyarakat di tingkat akar rumput,” imbuhnya.

Terkait dengan itu, Wahid Foundation bekerjasama dengan UN Women sejak 2017 mendampingi kelompok perempuan dan pemuda di 10 Desa/Kelurahan Damai di tiga provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.  Perempuan didorong untuk mengambil peran dan terlibat di masyarakat, menjadi aktor kunci dalam upaya – upaya mempromosikan perdamaian dan pencegahan kekerasan di lingkungannya. Selain itu, dalam upaya menciptakan masyarakat yang inklusif dengan memperkuat partisipasi perempuan, juga perlu dipastikan setiap individu mendapatkan perlindungan hak – hak perempuan. Oleh karena itu, melalui Desa Damai pihak pemerintah Desa dan masyarakat didorong untuk membuat Rencana Aksi Desa Damai dan Setara dengan menggunakan pendekatan Keamanan Insani (Human Security Approach / HSA) dan menjalankan prinsip kesetaraan gender.

Wahid Foundation menggelar Rembukan Desa Damai dengan tema “Membangun Komunikasi Asik di Tengah Krisis Sosial dan Pandemi” pada Jumat, 29 Januari 2021 secara Daring. Kegiatan ini diikuti kurang lebih 100 peserta yang terdiri dari Pemuda/I, Kelompok Perempuan, Pemerintah Desa, Tim Kelompok Kerja Desa Damai dari 10 Desa Damai yang tersebar di 3 propinsi di Pulau Jawa, Indonesia. Dalam sambutannya Yenny Wahid menyampaikan harapan kepada Desa Damai untuk turut serta membangun kampanye – kampanye kreatif dan positif untuk memerangi narasi kebencian, bias gender dan hoax Kesehatan, terutama di tengah Pandemi Covid19.

“Untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan masyarakat, kami tetap berupaya untuk memperkuat kapasitas perempuan dalam hal kepemimpinan, ke depan kami harapkan dengan ini proses keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa/kelurahan meningkat khususnya untuk memutuskan hal-hal strategi dalam masa pandemi seperti saat ini.” Tutur Yenny Wahid.

Putri kedua mendiang Gus Dur juga menambahkan pentingnya peran ibu bagi keluarga untuk menyemai perdamaian dan menjaga krisis ditengah keluarga, termasuk ditengah Pandemi Covid19. “Selama Pandemi, para ibu harus menjadi pelindung utama keluarga. Saling mengingatkan suami-istri dan anak untuk mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. Keluarga harus bekerja sama memerangi Covid19 dan berita yang masuk, harus disaring dulu, apapun itu.” imbuhnya.

“Ini juga menurut kami yang sangat penting adalah keterlibatan pemuda dalam situasi saat ini, karena mereka adalah generasi yang melek teknologi. Sehingga kreatifitas mereka sangat diperlukan bentuk dukungan dan partisipasi untuk memastikan pembangunan berkelanjutan. Para pemuda dan komunitas di daerah harus bersinergi dan ditingkatkan kapasitasnya melalui berbagai kegiatan-kegiatan peningkatan wawasan dan skill serta diberikan dukungan untuk berkarya dalam perdamaian. Dengan karya yang positif, pembangunan di Indonesia bisa lancar, rakyat sejahtera.” Lanjut Yenny Wahid Kegiatan ini juga dihadiri oleh Nyimas Aliyah Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Kondisi Tertentu dan Situasi Khusus Kementerian PPA selaku narasumber yang menjelaskan tentang tantangan perempuan di tengah krisis pandemi. Serta Ainun Chomsun founder Akademi Berbagi yang kembali mengingatkan perempuan dan pemuda membangun etika komunikasi selama krisis dengan menyebarkan konten-konten positif, kritis dan terbuka.