Home INdonesiana Puasa Tanpa FPI
INdonesiana - April 13, 2021

Puasa Tanpa FPI

Tahun ini kita Ramadhan tanpa FPI dan HTI. Tanpa laskar yang teriak-teriak menjengkelkan itu. Kita mungkin tidak akan lagi melihat laskar berseragam putih mengobrak-abrik warung makan seorang nenek-nenek, dengan alasan menghormati orang puasa. Sebab bagi nenek itu, untuk bisa makan dia harus berjualan.


Nenek itu bukan mau menggoda orang yang puasa dengan dagangannya. Ia hanya mau memfasilitasi orang yang gak puasa untuk tetap bisa makan.
Masyarakat yang bukan muslim. Para musafir yang dibebaskan dari kewajiban puasa. Para perempuan yang datang bulan. Anak-anak kecil dan orang uzur. Adalah mereka yang tidak terkena kewajiban puasa. Nenek itu memberi mereka ruang sebagaimana Alquran memberikan mereka pengecualian.

Sebab nenek itu yakin, Allah begitu baik. Bahkan dalam kewajiban ibadah menahan lapar, tetap dikecualikan orang tertentu. Allah ingin manusia datang pada-Nya dengan ikhlas. Bukan dengan paksaan. Atau beban yang berat. “Semua ibadah untuk manusia. Kecuali puasa. Ibadah puasa untuk-Ku. Dan Aku sendiri yang akan menghitung ganjarannya, ” kata sebuah hadist Qudsy.

FPI Ngobrak-abrik dagangan di PKL

Tapi kita tidak tahu apakah di masjid-masjid kita akan mengajarkan tentang menahan diri saat puasa? Atau malah berisi penceramah yang lebih piawai mencaci dan menuding kopar-kapir ketimbang memberi pelajaran akhlak. Siang kita menahan diri. Lapar dan haus menghaluskan perasaan kita untuk berkasih sayang pada semua mahluk. Lapar dan haus menyadarkan kita bahwa manusia hanyalah mahluk kecil. Hanya istirahat sebentar dari asupan makan minum kita sudah lemas.

Lapar dan haus mendekat-dekatkan kita pada yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Kita diajak intropeksi. Diajak menyadari bahwa kita hanyalah debu diantara galaksi raya. Lapar dan haus hanyalah pertanda bahwa semua mahluk akan merasakan kondisi yang sama jika asupan makanannya terhenti. Kita diajak ikut empati pada mahluk lain. Pada manusia lain. Kita diajarkan bukan sebagai umat mentang-mentang.

Laku kita berbuka. Sebelumnya didahului dengan bisikan lirih, “Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa’ala rizqika afthartu. KepadaMu kami berpuasa. Dan dengan rizkiMu kami berbuka. “
Sebuah kepasrahan yang manis. Sebuah pengakuan bahwa kita tidak ada apa-apanya. Bahkan untuk berbuka saja kita mengandalkan kasih sayang Allah.

Juga sebuah sangka baik tentang perjalanan waktu. Kita berpuasa sepanjang hari, dan kita yakin di satu waktu, kita berbuka. Kembali menikmati rezeki Allah. Kembali menjadi mahluk yang butuh makan dan minum. Setelah itu kita bersiap tarawih. Berjalan ke masjid dengan hati yang tertunduk. Kita ingin bermesra-mesra dengan Tuhan. Membisikkan penyesalan dan kekerdilan diri.

Di ujung tarawih seorang pengkotbah naik mimbar. Ceramahnya membakar. Kita yang tadinya sumeleh dan merasa kerdil di hadapan Tuhan. Diajak untuk menjadi sombong. Kata dia. Kitalah yang paling benar. Orang lain yang berbeda dengan kita pasti salah. Wajib diperangi. Wajib dimusnahkan. Penceramah selanjutkan. Kitalah pemilik syah surga. Orang yang bukan golongan kita adalah musuh. Mereka bisa disakiti. Bisa dikuliti. Wajib disikat.

Kitalah yang paling benar. Sebab kita berkeyakinan A, dan yang lain berkeyakinan B. Semua yang tidak sama dengan kita harus diratakan dengan tanah. Kitalah kebenaran. Kita dilahirkan sebagai muslim. Yang lain dilahirkan sebagai non-muslim. Maka mereka adalah musuh. Padahal siapa juga yang bisa memilih dari orang tua mana manusia dilahirkan?

Penceramah sedang menyalahkan Tuhan yang menakdirkan seseorang dilahirkan dari orang tuanya. Saat puasa kita melatih diri untuk menahan kesombongan. Sepulang tarawih kita diajak mengikuti ideologi iblis. “Aku lebih baik dari Adam. Aku dibuat dari api dan Adam dari tanah! “
Seharian kita melakukan perjalanan ruhani dengan puasa. Eh, pas pulang tarawih ruhani kita mala compang camping. Bukannya pulang membawa berkarung-karung kasih sayang. Malah dioleh-olehi setumpuk kebencian dan kecurigaan.

Nenek-nenek yang berjualan makanan saat puasa, dia hanya memfasilitasi kelompok yang memang diberi dispensasi oleh Allah untuk tidak puasa. Nenek itu hanyalah kepanjangtanganan konsep keadilan Tuhan.
Sementara penceramah tarawih justru memporak-porandakan makna puasa kita. Justru khatib-khatib yang ceramahnya penuh kebencian itukah yang tidak menghormati orang yang berpuasa.

Harusnya penceramah sejenis ini yang digeruduk laskar. Sebab sejatinya merekalah yang merusak amalan puasa. Merekalah golongan orang yang tidak menghormati orang yang berpuasa. Kita tentu tidak mau amalan puasa kita dirusak. Bagaimana kita bisa bermesra-mesra dengan yang Maha Rahman dan Maha Rahim kalau modal kita justru kebencian?

Untuk menjaga puasa kita. Pantasnya kalau kita menjauhi para pengkotbah seperti itu. Atas nama agama justru mereka ingin merusak makna paling dalam dari puasa kita. Kita hanya mau bermesra-mesra dengan Allah. Menajalin komunikasi rahasia antara hamba dan Tuhannya. Kita tidak mau kemesraan yang syahdu antara hamba dan Tuhannya dirusak oleh para pengasong agama. Mereka yang memasarkan rasa benci dan permusuhan dengan memenuhi syahwat politik. Bagi mahluk jenis ini agama hanya tunganggan belakang. Sejatinya merekalah yang mengobrak-abrik makna puasa kita.

Kepada nenek yang membuka warung saat Ramadhan, sebagai ikhtiar mencari rezeki. Kita hormat dan respek. Tangannya yang kasar adalah bukti kerja kerasnya. Pelayanannya kepada pelanggan adalah bukti keikhlasannya. Pada nenek itu kita bisa belajar tentang ikhtiar. Kita belajar tentang pengecualian yang sudah digariskan Allah, sehingga sebuah perintah ibadah tidak harus dilakukan dengan keterpaksaan.

Sementara pada penceramah yang menjajakan kebencian kita diajak untuk menjauhi Tuhan. Kita hanya diminta untuk mebenarkan ego. Ego paling benar. Ego paling shaleh. Ego penguasa kapling surga.
Bukanlah justru puasa tujuannya untuk meruntuhkan keegoanmu?
“Mas kalau saat puasa kita membayangkan teh es manis, sama bakmi dan lontong bumbu. Batal gak?, ” tanya Abu Kumkum.
Mmboohhhh!

Oleh : Eko Kuntadhi