Home INdonesiani Para Milenial bersama Orang Tuanya, Menikmati Wayang Orang “Ngesti Pandowo”
INdonesiani - June 27, 2022

Para Milenial bersama Orang Tuanya, Menikmati Wayang Orang “Ngesti Pandowo”

Pesona Wayang Orang, selain membawa kedalaman nilai, kemasannya pun senantiasa dijaga agar tetap aktual, dan disukai kalangan muda masa kini, para milenial.

“Ini yang kesekian kami datang bersama keluarga, menyaksikan pertunjukan Wayang Orang. Anak-anak jadi mengenal nilai luhur kebudayaan kita melalui kemasan pertunjukan yang memukau dan tidak membosankan,” ungkap Sanjaya, yang hadir bersama istri dan 2 orang anaknya yang berusia milenials.

Harapan Sanjaya dan keluarganya itu, sejalan dengan motivasi dan
tujuan yang ingin dicapai Panitia Tetap Teater Wayang Indonesia (Pantap TWI) – Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI) mementaskan sejumlah grup wayang orang legendaris.

“Wayang tidak sekadar seni pertunjukan. Wayang adalah ekspresi nilai-nilai masyarakat. Membentuk identitas budaya bangsa. Memberi banyak ajaran, tuntunan, dan tatanan nilai kultural. Baik melalui representasi jalan cerita maupun citra para tokohnya,” jelas Penanggungjawab Program Pantap TWI, Im. Rini Hariyani, SS., M.Hum, usai menyaksikan pementasan Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo, di Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta Timur, Minggu, 26 Juni 2022.

WO Ngesti Pandowo menampilkan lakon “Kresna Duta”. Didukung para aktor dan aktris panggung antara lain; Sunarno (Prabu Mastwapati), Joko Suratno (Prabu Drupada), Wiradyo (Prabu Salya), A. Sri Paminto Widi Legawa (Prabu Kresna), M. Harrel Al-Zafar (Adipati Karna), Haryadi Dwi Prasetyo, S.Sn (Prabu Duryudana), Albela Mayarani Puspita, S.E. (Dewi Kunti), dan puluhan pemain lainnya.

Disutradarai Wiradyo dan Sunarno. Penulis Naskah Wiradyo dan Paminto. Penata Artistik dan Penata Cahaya, Budi Lee. Penata Panggung, Supardi, Penata Iringan, Sugiyanto Gitunk, Penata Tari, Ayok Pertiwi Eko Pertiwi, S.Sn. dan Paminto, Tata Rias dan Busana, Dewi, Wulansari S.Pd, dan Albela Mayarani Puspita.

Menurut Sunarno, Sutradara pergelaran ini, “Kresna Duta” merupakan spirit penggambaran sosok ‘Pamomong’ berjiwa kesatria. Memiliki tanggungjawab sebagai pemimpin. Berjuang menyelesaikan berbagai permasalahan dengan bijak, dan jiwa yang tulus.

“Sebuah penggambaran situasi dan kondisi kepemimpinan saat ini. Perlu sosok ‘Pamomong’ yang benar-benar bisa mengkondisikan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara dengan bijak. Sehingga tercipta suasana kondusif, damai dan sejahtera,” ujar Sunarno.

Selain keluarga Sanjaya, sejumlah keluarga lainnya terut hadir bersama anak-anak mereka, memadati ruang Teater Pewayangan berkapasitas 500 orang itu, yang berlokasi di area luar, Taman Mini Indonesia Indah.

“Kami bersyukur anak–anak bisa menyaksikan pertunjukan Wayang Orang ini, tak terasa selama 3 jam mereka menikmatinya, karena dikemas dengan skenario pertunjukan yang dinamis. Apalagi diselipkan demgan adegan kocak dari Petruk, Gareng dan Bagong dan Semar,” ungkap Indrianti, didampingi suami dan 3 orang anaknya yang masih remaja.

Motivasi mereka relatif sama. Ingin mengenalkan nilai nilai luhur kebudayaan, melalui Wayang Orang, yang jarang sekali ditampilkan di Ibukota Jakarta, kecuali di Gedung Pewayangan Kautamaan tersebut.

Di kesempatan yang sama, Kepala Bidang Humas SENA WANGI, Eny Sulistyowati SPd, SE, MM., menjelaskan, tampilnya Wayang Orang Ngesti Pandowo merupakan pergelaran perdana, dari rencana empat grup wayang orang yang akan tampil di Pewayangan Kautaman Jakarta.

Grup yang akan tampil berikutnya, kata dia, adalah; “Rasa Rupa Wayang” (dari berbagai macam genre dan jenis wayang), “Wayang Orang Anak” (Mangkunegaran – Surakarta), dan “Wayang Topeng” (Jawa Timur).

“Keempat grup kesenian wayang ini akan mengisi kalender acara Pantap TWI, hingga penghujung tahun 2022 nanti,” terang Eny Sulistyowati, yang juga bertindak sebagai salah satu Produser di pergelaran ini.

Menurut Eny, sejumlah grup wayang orang ada yang mampu bertahan selama puluhan — dan bahkan ratusan tahun di tengah berbagai tumbuh kembangnya seni budaya global.

WO Sriwedari berdiri tahun 1911, WO LPP RRI Surakarta berdiri tahun 1934. WO Ngesti Pandowo berdiri tahun 1937, dan WO Bharata berdiri tahun 1972. Grup kesenian tradisional ini mampu bertahan hingga sekarang.

Kenapa bisa bertahan? “Salah satu nilai yang menjadi pemersatu para penggiatnya, adalah guyub-rukun dan persaudaraan,” ujar Eny.

Berkesenian memang erat kaitannya dengan etos; keyakinan, sikap, kepribadian, watak, karakter, dan kekuatan mental. “Memiliki kemampuan; cakap; terampil, serta dapat diterima dan dipercaya. Ini kunci ketahanan,” tegas Eny.

Ir. Retno Irawati, yang juga merupakan Produser dalam pergelaran tersebut menyampaikan bahwa seni tradisional harus menyamakan irama di tengah perubahan yang disebabkan berbagai faktor obyektif.

Grup-grup kesenian yang ditampilkan di Teater Wayang Indonesia (TWI) menurutnya, harus berorientasi pada karya berkualitas, agung dan adiluhung. Oleh karena itu, proses dan selektivitas menjadi keharusan.

“Ini menjadi keharusan agar kesenian tradisi tetap dikenali generasi abad ini. Tampil di TWI bersifat pembinaan, pemanfaatan, perlindungan, sekaligus menjadi bagian dari proses mencerdaskan bangsa, dan meningkatkan kesejahteraan seniman,” ujar Retno Irawati.

WO Ngesti Pandowo didirikan di Madiun oleh Sastro Sabdho pada tanggal 1 Juli 1937. Konsep pertunjukan pada awalnya memadukan unsur Wayang Orang Keraton (WO Pendhapa) dengan Teater Barat.

Hadirnya WO Ngesti Pandowo bagian dari upaya menanamkan rasa cinta pada seni tradisi. Memberi hiburan alternatif kepada masyarakat.

Pada masa awal berdirinya WO Ngesti Pandowo tidak hanya digemari masyarakat Jawa, tetapi juga orang-orang Belanda dan keturunan Tionghoa.

WO Ngesti Pandowo lokasi pentasnya di Gedung Kesenian Ki Narto Sabdho Kompleks Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Bertindak sebagai Kurator pergelaran ini, Drs. Suryandoro, Sumari, S.Sn, MM, Agus Prasetyo, S.Sn, dan Nanang Hape, S.Sn, serta Djoko Muljono, S.H, selaku Ketua Pengurus Grup Wayang Orang Ngesti Pandowo.

Cerita “Kresna Duta”, secara singkat menyampaikan kisah tentang kekalahan Pandawa dalam permainan dadu melawan Kurawa. Hal ini membuat mereka kehilangan Negeri Indraprasta. Menjalani 12 tahun masa pembuangan dilanjutkan setahun penyamaran di kota besar.

Di saat Pandawa konsisten sebaliknya Duryudana ingkar. Ia menolak mengembalikan Indraprasta. Prabu Drupada mewakili Pandawa untuk mengingatkan Duryudana tapi tidak berhasil. Dewi Kunti ikut mengingatkan, namun upaya tersebut juga gagal.