
NASI “KUCING” SOLO
Bersyukur, saya pernah bekerja dilingkungan seniman, budayawan dan enterprenuer sekelas Setiawan Djody. Itu sekitar tahun 1999.
Kami memproduksi sebuah program televisi dari Rumah Produksi miliknya, bertajuk ‘Kharisma’, acara dengan spirit sosial dan entertainment, yang disiarkan di stasion ANTV.
Selain, keliling Indonesia, kerapkali kami diajak liburan ke Solo, kota kelahiran, Mas Djody, sapaannya.
Nah, disanalah saya diperkenalkan kali pertama makan “Nasi Kucing”.
What!?
Kaget bercampur (ketahuan nggak pernah ke Solo), saya menolak dengan halus. Sementara beliau makan dengan lahapnya, sambil melirik kearah saya yang hanya menyeruput Teh Panas dari Poci, khas Solo.
“Hehehe… Makan aja Bud, kamu pikir ini daging kucing yaa? Lihat nih lauknya…” tukas Mas Djody, tertawa sambil menyebutkan beberapa jenis lauk, seperti sambel pedes, teri, ikan bandeng dan… itu saja.
Betapa konyolnya saya, hanya karena minim informasi, tak paham kisah, bahkan, “kurang gaul”, lalu bersikap menolak diksi yang tak lazim untuk sebuah makanan.
Jadi ingat, Hot Dog yang ditulis bersambung. Juga Ham Burger. Dua jenis kuliner Amerika yang sangat populer di negeri ini.
Ada juga Rawon Setan di Jalan Margonda Depok, Bakso Setan di Puncak Cisarua Bogor dan Nasi Kalong yang lagi happening dikalangan milenial, di Jalan Riau, Bandung.
Awalnya, mengejutkan, kemudian, “menolak”. Meski akhirnya pun coba menikmatinya, setelah melek informasi dan paham literasi, kenapa akhirnya diksi aneh disekitar kuliner itu muncul.
Kini, keluarga kami menjadi terbiasa. Meski semua jenis makanan dengan diksi unik itu, tidak menjadi agenda kuliner harian kami. Kecuali saat liburan baik ke Bandung maupun ke Solo atau destinasi favorit lainnya.
Dalam bisnis kuliner, selalu saja ada upaya kreatif mengitarinya. Biasanya dimulai dari ‘Nama’ produknya.
Ada yang to the point menyebut lauknya, ‘Sop Iga Sapi’, ‘Sate Ayam’, ‘Ayam Goreng Kalasan’ dan puluhan jenis lauk lainnya.
Ada pula yang memadukannya, dengan menyebut ‘nama pemilik’ nya. Seperti, ‘Ayam Goreng Mbok Berek’, ‘Lele Mpok Lela’, ‘Ayam Bakar Mas Mono’, ‘Mc Donalds’, dan penggila kulineri akan melanjutkan dengan berderet nama serupa lainnya.
Disaat Bulan Suci Ramadhan seperti saat ini, jadi teringat beberapa jenis kuliner yang menggunakan merek dagang atas nama ‘tempat’ atau ‘lokasi’, antara lain, ‘Nasi Padang’, ‘Sate Madura’, ‘Soto Mie Bogor’, ‘Coto Makassar’, ‘Soto Betawi’, ‘Martabak Bangka’, ‘Kentucky Fried Chicken’, dan bederet nama lainnya, yang sengaja diberi nama-nama unik, berdasarkan lokasim
Dalam giat bisnis, khususnya bisnis di dunia kreatif, ada beberapa hal penting yang digunakan sebagai acuan dalam pengelolaannya.
Pertama, untuk menyentuh ‘Perception’ (wawasan atau daya paham menanggapi sesuatu), kemudian ‘Image Building’ (membangun citra demi reputasi), dan ini dia, ‘Curiousity'(penasaran atau rasa ingin tahu)
Saya ingin menyentuh bagian ‘Curiousity’ ini saja.
‘Rasa ingin tahu’ atau ‘penasaran’ yang dimiliki setiap insan, sesungguhnya adalah modal utama dalam mempromosikan sebuah produk baru atau produk lama yang akan mempromosikan varian barunya.
Diksi ‘Kucing’ adalah sebaik-baiknya ‘Curiousity’ dalam kuliner khas Solo, ‘Nasi Kucing’. Boleh jadi ini menginspirasi lahirnya ‘Nasi Kalong’, ‘Rawon Setan’, ‘Bakso Setan’ dan nama-nama unik yang cenderung aneh lainnya.
Semuanya menjadi lazim dan lumrah dalam bisnis kuliner di Indonesia, hingga kita semua kembali dikejutkan dengan hadirnya “Kuliner Sosial” atau makanan yang khusus didonasikan buat masyarakat yang tinggal di wilayah Warakas, Jakarta Utara, sebagai wujud kepedulian atas dampak dari Wabah Virus Corona, yakni ‘Nasi An…’, yang dikemas dalam kotak, lengkap dengan gambar kepala hewannya.
Diksi itu, dianggap sebagian besar masyarakat, kurang pantas dan kurang pas untuk sebuah giat sosial, apalagi ditengah Bulan Suci Ramadhan.
Tapi saya meyakini, bahwa tujuan sang dermawan makanan itu sangatlah mulia.
Secara mandiri, ia ingin memberi makanan gratis dengan tulus dan ikhlas, untuk membantu kebutuhan dasar masyarakat, dalam kerangka mendukung pemerintah dan aksi sosial lainnya, menghadapi dampak Virus Corona yang panjang entah sampai kapan ini. Seakan tak berujung.
Persepsi ditengah masyarakat memang sangat beragam, sehingga setiap niat mulia, memang harus dilakukan dengan cara yang baik, agar giat sosial yang ingin menebarkan kebaikan bagi ummat manusia, terasa manfaatnya, karena dinikmati dengan perasaan senang dan bahagia yang tiada tara.
Bahagia lahir bathin, tanpa mengusik hati sesama, seperti perasaan saya, ketika akhirnya bersama istri dan anak-anak, menikmati kuliner murah meriah namun sangat nikmat, di Angkringan Nasi Kucing, Solo, 1 Januari lalu.