
Meragukan Integritas Tempo Menjelang Masa Kebangkrutannya
Tempo sudah keluar dari jalur jurnalistik yang sehat. Ketika mengemukakan pernyataan, Tempo tidak memiliki sumber valid. Kalaupun ada narasumber, jawabannya tidak memuaskan.
Yang saya tidak mengerti, kenapa hal ini dibiarkan? Bukankah ada Dewan Pers?
Padahal ini adalah bencana bagi nalar sehat. Media massa yang mestinya menjadi penyambung lidah kebenaran, justru malah mempermainkannya. Kalau perlu bahkan mungkin menjualnya dengan harga murah.
Ade Armando, salah satu pakar komunikasi terkemuka Indonesia, seringkali mengkritik cara Tempo menulis berita. Namun agaknya kritik saja tidak cukup. Karena bisa jadi, berita semacam itu adalah pesanan. Mereka sudah tak peduli dengan etika.
Seperti halnya anda memesan iklan, sumber saya mengatakan (ini meniru cara Tempo), media-media itu dibeli untuk memberitakan sesuatu sesuai arahan pemesannya.
Kadang mereka malah melakukan kerja sama tahunan. Jadi sepanjang tahun itu, setiap hari, media tersebut menulis hal positif dari pihak pemesan. Tidak peduli itu penting bagi pembaca atau tidak.
Saya tidak percaya Tempo benar-benar punya sumber terpercaya. Saya curiga, Tempo hanya dengar desas-desus dari oknum yang suka membual. Tapi tidak melakukan verifikasi. Soalnya ini kerja yang berat. Tempo tidak cukup memiliki sumberdaya.
Dan bagian terpentingnya, mereka juga kesulitan mencari narasumber. Bukan pendengung. Atau juru desas-desus. Narasumber adalah sosok kompeten yang mengetahui secara persis kejadian. Orang yang bertanggung jawab penuh dengan pernyataannya.
Sebagai contoh, saya dengar beberapa wartawan mendapat Iphone dari balaikota. Tujuannya, supaya persoalan anggaran Jakarta tidak diberitakan. Informasi ini berasal dari sumber yang sangat terpercaya. Tapi saya tidak mendengarnya secara langsung.
Dalam posisi seperti saya, wartawan Tempo mungkin akan langsung menulis berita itu. Seolah-olah mereka melakukan wawancara. Cukup memberikan sumber anonim. Padahal itu tidak bisa diterima dalam kaidah jurnalistik. Saya tidak boleh memberitakan sesuatu yang sumbernya hanya katanya, katanya.
Tempo bahkan tidak menyebutkan nama narasumbernya. Karena memang tidak Ada. Omong kosong yang dibuat Tempo sebagai hak jawab pemrednya, isinya juga hanya angin. Tidak menjelaskan apa-apa.
Itu bukan kerja jurnalistik. Tapi yang dilakukan Tempo hanyalah menjadi tukang bikin desas-desus. Lalu berlindung di bawah ketiak UU pers. Menyaksikan itu, rasanya Indonesia ini sudah seperti negara bar-bar saja.
Sekarang ini misalnya, yang sedang ditembak Tempo adalah PDIP. Tempo sedang mengais-ngais berita dengan kata-kata, diduga, menurut si anu, ada indikasi, dan seterusnya. Herman Hery dan Puan Maharani diseret-seret dalam kasus tersebut.
Padahal jika memang ada oknum lain yang terlibat dalam kasus Bansos itu, biarkan KPK bekerja. Jangan sembarangan menciptakan kambing hitam. Apalagi modalnya hanya desas-desus.
Jika tidak terbukti, itu sama saja telah memfitnah. Bedanya, Tempo bisa berlindung dengan tameng UU pers. Besok mereka ngehoax lagi. Memproduksi sampah lagi.
Ini sama dengan berita terdahulu yang mengaitkan anak “Pak Lurah”, Gibran, berkelindan dengan kasus korupsi Bansos. Faktanya tidak ada apa-apa di sana. Gibran tidak ada sangkut-pautnya dengan korupsi itu. Jauh panggang dari api.
Tapi namanya sengaja diseret tanpa bukti awal yang cukup. Tempo sengaja menebarkan hoax dengan kedok jurnalistik. Padahal saat itu adalah waktu genting pencalonan Gibran sebagai Walikota Solo.
Yang dilakukan Tempo itu jahat. Bahkan bisa disebut biadab.
Dalam beberapa kasus, Tempo menggunakan trik yang norak. Awalnya mereka akan melepaskan opini editorial. Seolah-olah opini itu adalah news. Banyak pembaca yang mudah terkecoh. Kemudian opini tadi di-blowup sedemikian rupa.
Mereka mengerahkan wartawan untuk mengendus topik yang sengaja mereka ciptakan tadi. Membentuk kambing hitam. Juru beritanya akan mencari-cari celah melalui pertanyaan yang sengaja dibelokkan. Mereka tidak peduli jika pertanyaan itu disangkal oleh pihak yang ditanya.
Pertanyaan yang tidak dijawab itu tetap dipajang di pemberitaan mereka. Hal itu sengaja dilakukan untuk mencuci otak pembaca. Semacam propaganda melalui pertanyaan tanpa jawaban.
Tempo memang sedang mengalami masa-masa kejatuhan. Ironisnya, hal itu dibarengi dengan merosotnya kualitas jurnalistiknya. Integritas dan kompetensi yang dimilikinya lenyap sudah. Sekarang mereka sibuk memproduksi sampah.
Dulu ketika Goenawan Mohamad membentuknya pertama kali (majalah Tempo/1971), mungkin ia mencita-citakan sebuah media massa yang berani dan independen. Maklum, waktu itu musuhnya Soeharto. Kritis saja tidak cukup, tapi juga harus cerdik.
Sekarang, lelaki tua itu mungkin juga akan merasa kecut, bahkan mungkin menyesal. Warisan yang ditinggalkannya telah diacak-acak penerusnya. Dangkal, tidak memenuhi kaidah jurnalistik, pesanan, dan kadang biadab.
Begitulah wajah Tempo, kehilangan integritas di tengah masa kejatuhan yang menyedihkan.
Dikutip ulang : https://seword.com/p/Rs0ALC8xrI *) Kajitow Elkayeni