
“Masamper” Meriahkan Acara Tutup Tahun Kerukunan Kawanua di Jakarta
Sekitar 20 pria dengan baju bercorak tradisional warna biru laut mengkilap, memakai penutup kepala dari kain yang warnanya senada dengan warna baju. Mereka juga mengenakan celana panjang hitam.
Mereka melakukan gerakan maju mundur, ke kiri dan kanan, secara bersamaan dengan kompak sambil bersahutan melantunkan sebuah komposisi lagu tradisional. Berhubung semua pelantunnya adalah pria maka tak mengherankan warna suara “bariton” yang berat terdengar kental di telinga.
Kelompok pria yang tampil di panggung acara “Natal Kunci Taon 2019” yang di selenggarakan di ICC Kemayoran (01/02/2020) lalu ini sedang menampilkan tarian khas “Masamper” atau ” Pato – Pato dari kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Berbalas Syair
Tradisi bernyanyi sambil menari melekat pada masyarakat Sangihe, bahkan sebelum agama Kristen masuk ke sana. Para penyebar Injil (Zending) dari Belanda lalu menamai kegiatan seni masyarakat tradisional Sangihe tersebut Zangvereeninging artinya kelompok menyanyi.
Berhubung sebutan itu berbahasa asing (Belanda) penyebutan itu oleh lidah lokal Sangihe (Sangir) menjadi “Samper”. Dalam perkembangan jaman lalu berganti menjadi “Masamper”
Kesenian ini selalu hadir dalam event – event tradisional seperti hajatan, pernikahan dan kematian atau event resmi masyarakat Kepulauan Sangihe. Keunikan lagu “Masamper” atau “Pato – Pato” terletak pada irama lagunya yang mampu membangkitkan gairah penonton (audiens) untuk sekedar ikut berdendang atau bahkan menari mengikuti irama lagu.
Masamper tidaklah sekadar menyanyi bersama, pengaturan tempat duduk dalam tradisi Masamper selalu membentuk bulatan. Bagian tengah lokasi Masamper dibiarkan kosong, menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.
Bila ditarik ke belakang, budaya ini terbentuk oleh tradisi berbalas syair (berbalas pantun) di kalangan masyarakat Sangihe yang dinamakan “Mebawalase Sambo” . Dalam perkembangannya jadi lagu berbahasa lokal Sangihe.

Pato – Pato
Nama “Masamper” seiring waktu tenggelam dan tergantikan dengan sebutan Pato – Pato. Kata ini dalam bahasa Sangir berarti perahu atau bahtera. Pada tahun 1990-an muncul istilah baru yakni Pato-Pato.
Sebutan ini terkait dengan judul lagu Masamper Menondong Pato (melayarkan perahu atau bahtera) yang dibawakan oleh Group Masamper pimpinan Max Galatang. Lagu ini merupakan bagian dari album rekaman Masamper pertama.
Filosofi Masamper adalah kegembiraan atau ekspresi kegembiraan selain ungkapan hati nurani selain memiliki nilai religius dan nilai moral.
Syair – syair Masamper bernuansa syair sastrawi yang berisi ajakan, ajaran moral dan ajaran tata cara pergaulan dalam hidup bermasyarakat.
Mapalus dan Masamper
Seperti suku – suku bangsa di nusantara yang mempunyai tradisi gotong – royong, Manado juga memilikinya dan hal ini disebut “Mapalus”. Kekerabatan sosial ini juga dipelihara oleh masyarakat asal Sulut di perantauan seperti di Jakarta. Biasanya mereka merawat persaudaraan lewat pertemuan keluarga besar dan acara keagamaan.
Setiap tahun komunitas rantau asal Manado yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) menyelenggarakan event Natal bersama. Tujuannya untuk merekatkan hubungan antar perantau dan pengucapan syukur atas pencapaian selama satu tahun.
Pada event seperti ini penampilan grup Masamper selalu dinanti – nantikan dan menyuntikan semangat “Mapalus” bagi keluarga besar Kawanua di rantau. (sb)
.