Home INdonesiana Kisruh Partai Politik Sudah Biasa, Kok Baru Sekarang Bawa Etika?
INdonesiana - March 14, 2021

Kisruh Partai Politik Sudah Biasa, Kok Baru Sekarang Bawa Etika?

Trias Kuncahyono, wartawan senior, begawan jurnalistik Indonesia itu menulis tentang sejarah perpecahan partai di negeri ini. Bahkan sebelum Indonesia berdiri, partai-partai politik telah sering berpecah-belah.

Pada zaman pergerakan, kata Trias, dari PNI, lahir dua partai baru, yakni Partindo dan PNI-Baru. Ini terjadi pada tahun 1929, setelah empat tokoh teras PNI—Ir Soekarno, R Gatot Mangkoepradja, Markoen Soemadiredja, dan Soepiadinata—dipenjara.

Itu artinya kasus kisruh Partai Demokrat bukan barang baru. Tidak ada yang istimewa. Maka aneh saja menurut saya jika menyeret-nyeret Jokowi dalam hal ini. Keputusan Jokowi untuk diam sudah tepat. Sebab jika ia mengambil tindakan apapun, akan merugikan salah satu kubu.

Misalnya ia memecat Moeldoko, tentu AHY yang diuntungkan. Atau Jokowi menanggapi ocehan AHY, tentu akan dianggap membela Moeldoko. Intinya, apapun yang dilakukan Jokowi akan salah.

Yang menarik di sini bukan hanya sikap paranoia geng AHY yang menembak ke mana saja, tapi juga komentar publik.

Namun banyak yang tidak melihat kasus ini secara adil. Bahwa faktanya kongres tahun 2020 yang dilakukan SBY itu mengkhianati demokrasi. Ia telah menjadikan partai politik sebagai milik pribadi. Hal itu bisa dilihat dari AD/ART partai yang memuluskan jalan trah SBY.

Pertama dengan menjadikan anaknya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Kemudian menjadikan dirinya sebagai Ketua Majelis Tinggi yang berkuasa penuh. Ada satu catatan lagi, SBY sengaja membatasi hanya keluarganya yang bisa mengisi pucuk jabatan.

Sebab Ketua Umum hanya bisa ditentukan oleh Ketua Majelis Tinggi. Itu artinya, selama SBY hidup, ia akan menempati posisinya, lalu anaknya, anak dari anaknya, anak dari anak dari anaknya….

SBY dengan sengaja telah membajak demokrasi dengan mendirikan kerajaan berbentuk partai.

Ini tentu tidak dibenarkan, sebab partai mendapatkan anggaran dari negara. Duit rakyat mereka caplok semena-mena. Ditambah lagi jika ada kader partai yang jadi pejabat. Semakin banyak uang negara yang dikeruk.

Oleh sebab itu, partai harus demokratis. Tidak boleh diwariskan pada keluarga. AD/ART Demokrat yang lama itu amoral, bejat dan menyalahi demokrasi. Ini bahaya.

Maka siapapun yang kemudian menggelar kongres baru harus dipahami sebagai upaya menyelamatkan demokrasi. Moeldoko hanya triger, bahkan dalam kondisi tertentu ia hanya kambing hitam dalam kisruh itu. Ia disalahkan karena posisinya sebagai Ketua KSP.

Yang ingin meluruskan jalan partai Demokrat ya kader Demokrat itu sendiri. Ini bukan kudeta. Tapi mekanisme politik yang sudah berjalan sangat lama. Gak perlu lebay. Gak usah bawa-bawa etika.

Maka mengutip Trias Kuncahyono, yang juga mengutip Harold Laswell, pakar politik dari AS, politik  adalah mengenai siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Tidak ada urusan dengan etika dalam kubangan penuh lumpur ini. Etika baru digunakan di luar kubangan itu sebagai kontrol publik.

Bahkan kalau etika yang dimaksud itu berasal dari kata “ethikos” dalam term filsafat, yang dilakukan kader Demokrat melalui Moeldoko itu malah selaras. Karena mereka ingin mengembalikan nilai-nilai demokrasi. Mereka mempertanyakan standar moral yang dibuat semena-mena oleh SBY.

Atas dasar inilah, menghukum Moeldoko sebagai orang yang melakukan hal yang tidak etis itu tidak dapat dibenarkan logika. Begitu juga dengan desakan untuk memecatnya, sebagaimana pendapat Refly Harun. Faktanya, Moeldoko itu bumpernya Jokowi. Namun di sisi lain, ia juga seorang politisi.

Ini sama halnya dengan menteri-menteri Jokowi yang merangkap ketua Partai. Selama ada pemisahan kewenangan, sejauh ini tidak ada masalah. Bahkan kita tahu di Gerindra ada sosok seperti Fadli Zon yang selalu nyinyir. Hal itu menunjukkan, posisi menteri dan ketua partai adalah kamar berbeda.

Karenanya sejak awal, saya tidak setuju jika langkah Moeldoko itu dianggap menabrak etika. Ini hal yang biasa dalam politik. Sudah terjadi sejak lama. Dan tidak ada etika di sini. Karena memang bukan jalurnya.

Para politisi pasti akan saling cakar, besok mereka bisa ngopi-ngopi bareng lagi. Seolah tidak terjadi apa-apa. Kecuali jika ada dendam. Seperti luka yang ditinggalkan SBY pada Mega. Karena tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan politik itu sendiri.

Sejatinya, ini memang soal karma SBY. Proses tabur-tuai telah dimulai. Biarkan Tuhan bekerja, dengan cara misterius seperti biasanya…

Oleh : Kajitow Elkayeni