
Ketidakberdayaan Menteri KKP Panglima TNI dan Menhan Hadapi Polemik Natuna
Provokasi yang dilakukan kapal patroli China bermaksud menjebak pihak Indonesia untuk melanggar hukum laut internasional jelas Mayjen Sisriadi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Jakarta, Senin (6/1/2020)
Ketegangan Indonesia dan China Pasca-Insiden Kapal Asing di Natuna, dimana sebelumnya Indonesia telah menangkap kapal nelayan berbendera China yang dituduh mencuri ikan di dekat kepulauan Natuna. Kapal patroli China tampak mendampingi kapal-kapal nelayan pencuri ikan di wilayah perairan Indonesia tersebut.
Dilain pihak otoritas China selalu berkeras bahwa kapal-kapal nelayan mereka beroperasi secara sah di wilayah mereka. Sedangkan TNI menurut Sisriadi, dalam pengamanan perairan Natuna, pihaknya menerjunkan prajurit dari matra Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU). Ia menegaskan bahwa prajurit TNI tetap mengedepankan rule of engagement atau aturan pelibatan dari hukum nasional maupun internasional. Sisriadi menuturkan, prajurit TNI AL dan AU melakukan operasi sesuai prosedur dan tidak ingin terprovokasi. Dengan kata lain TNI baik TNI AL dan AU bersikap ‘wait and see’, tidak akan ada tindakan tegas, walaupun sudah jelas jelas kapal kapal nelayan China tersebut sudah melanggar batas wilayah eksklusif perairan Indonesia.
Hal ini sangat disesalkan banyak pihak dengan digantinya menteri KKP (Kelautan dan Perikanan) Susi Pudjiastuti dengan Edhie Prabowo, ditambahnya tanggung jawab Menko Marves (Maritim dan Investasi), apalagi masuknya Menhan (Menteri Pertahanan) baru Prabowo Subianto, dimana awalnya Presiden Joko Widodo memiliki ekspektasi tinggi untuk pengamanan bidang Kemaritiman, perikanan dan kesejahteraan nelayan.
Kenyataannya dunia Kemaritiman Indonesia saat ini malah melemah bahkan diremehkan negara tetangga, dengan maraknya kapal kapal nelayan asing diantaranya kapal nelayan berbendera Thailand dan Vietnam, bahkan saat ini kapal kapal nelayan China dengan dikawal kapal patroli China berani masuk di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Perairan Indonesia. Akibatnya nelayan Indonesia, kini dilanda ketakutan melaut/melakukan kegiatan yang merupakan mata pencahariannya sehari hari karena maraknya kapal kapal nelayan asing masuk di perairan Indonesia, yang pastinya berdampak pada penghasilan nelayan Indonesia dalam beberapa minggu ini. Hal ini sangat kontrast dibanding saat Menteri Susi memimpin di Kementerian KKP tersebut sebelumnya.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia menilai terkait insiden polemik batas wilayah di perairan Natuna, Kepulauan Riau masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia secara ilegal, Pemerintah Indonesia harus menolak rencana penyelesaian masalah Pencurian ikan di Perairan Natuna ini secara bilateral oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China karena empat alasan, tegas Hikmahanto. Alasan pertama adalah karena China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna. Kedua negosiasi tidak mungkin dilakukan karena dua poin dasar China mengklaim: pertama Natuna tidak diakui dunia internasional, kedua bahwa dasar Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus serta konsep traditional fishing grounds yang menjadi alasan klaim China atas Natuna.
Padahal Nine-Dash Line merupakan garis yang dibuat Sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). UNCLOS juga tidak mengenal istilah konsep “traditional fishing grounds”.
Sementara itu, DPR sebaiknya memberi waktu kepada Pemerintah dan sepakat akan penyelesaian Polemik Natuna. Dengan mengacu putusan Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim China atas sembilan garis putus-putus maupun konsep traditional fishing grounds. Menurut PCA, dasar klaim yang dilakukan oleh Pemerintah China tidak dikenal dalam UNCLOS, padahal Indonesia dan China merupakan anggota UNCLOS, urai Hikmahanto Juwana. Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan bagi Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antar kedua negara, yang akan sangat berpengaruh terhadap ‘pride’ harga diri Indonesia sebagai suatu bangsa yang berdaulat.
Keempat, jangan sampai Pemerintah Indonesia dianggap mencederai politik luar negeri bebas aktif bangsa Indonesia. Menurutnya, Hutang yang dimiliki Indonesia dari China tidak boleh menjadi dasar kompromi terhadap kedaulatan Indonesia sebagai suatu negara yang dikenal tegas dan disegani negara negara luar sebelumnya, seperti yang dilansir dari Kompas.com. (BP)