Home INdonesiana Gus Dur, Laku, & Latar Agama
INdonesiana - March 30, 2021

Gus Dur, Laku, & Latar Agama

Saya tak pernah jemu untuk mengingat-ingat kata bijak almaghfurlah Gus Dur yang satu ini: “Tidak penting apapun agama atau sukumu… Kalau kamu bisa berbuat “baik” untuk semua, orang-orang tidak pernah tanya apa “Agama”. Kata orang bijak ini sangat relevan dalam rangka mendorong sikap pluralistik dan mengayomi serta berfikir dan berlaku atau bertindak tanpa dibingkai sekat-sekat identitas. Laku baik adalah sebuah tanggungjawab pribadi dan sosial yang “tak perlu” diklaim dan dipertanyakan latar belakang identitas pelakunya!

Namun saat ini, ketika terjadi laku jahat terhadap kemanusiaan, Bangsa, dan Negara RI, dalam bentuk terorisme seperti di Makassar atau wilayah lain sebelumnya, saya dihadapkan oleh wacana penghadapan antara identitas agama dan pelaku serta gagasan di baliknya. Pertanyaan atau pernyataan bernada menggugat “Apa agama dan kitab suci para teroris tersebut” atau “kenapa pemeluk agama tertentu sering melakukan aksi yang hina tersebut” atau tudingan pseudo ilmiah bahwa “agama tertentu memang mengajarkan kekerasan dibanding agama lainnya” dan sebagainya.

Seolah kata bijak almaghfurlah Gur Dur kemudian menjadi sebuah klaim yang satu arah belaka. Seolah peringatan Gus Dur hanya berlaku untuk laku baik saja. Jika demikian, kata bijak tersebut menjadi relatif, bukan sebuah norma etika tanggung jawab yang universal. Karena jika ada laku dan sikap jahat, seolah kita “perlu” bertanya: “Apa agama para pelaku aksi jahat tersebut?”

Jika mau konsisten dengan norma tanggungjawab yang diutarakan almaghfurlah Gur Dur, mungkin tak bermanfaat juga untuk mempertanyakan, memgguhat, dan menuduh soal latar belakang agama, suku, ras dari para pelakunya. Kalaupun mereka mengklaim bahwa agama tertentu sebagai motivator atau inspirator atau bahkan instruktor, itu hanya sekedar klaim kosong. Dan orang tak perlu repot-repot menanyakan apa latar belakang agamanya. Apalagi menuding bahwa agama tertentu bertanggungjawab atas sikap dan laku merusak tersebut.

Membaca dan memahami kalimat bijak almaghfurlah Gus Dur memerlukan kemampuan untuk juga memahami implikasinya secara lebih mendalam. Kata “berbuat baik” bisa saja dipahami dengan sebaliknya. Sehingga efeknya menjadi lebih dahsyat, yakni bahwa gagasan dan aksi serta laku baik dan buruk keduanya adalah tanggungjawab pribadi dan sosial para pemili dan pelakunya.

Wacana dan debat tentang agama yang dikaitkan dengan aksi teror lantas tak produktif atau mengajak kita mencari solusi bersama sebagai manusia, bangsa, ummat beragama, dan warganegara. Wacana tersebu malah akan dikapitalisasi oleh para pelaku teror dan organisasinya sebagai keberhasilan untuk memecah belah, adu domba, saling tuding dan sebagainya.

Saya tentu saja tidak melarang wacana dan debat publik tentang agama dan tanggungjawab sosial dalam kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Namun perlu ada sebuah fokus dan prioritas yang ditujukan kepada pencapaian kemaslahatan kemanusiaan, kebangsaan, dan individual.

Dengan cara demikian kata-kata bijak almaghfurlah Gus Dur akan makin relevan secara aktual karena menjadi norma dasar etika tanggungjawab yang universal.

Oleh Muhammad AS Hikam