Home INdonesiani Gerilya Ex HTI Di Tengah Kelalain Anggota DPR RI
INdonesiani - June 9, 2020

Gerilya Ex HTI Di Tengah Kelalain Anggota DPR RI

Seperti lirik lagunya SLANK, “Tak ada matinya.” Itulah perjuangan Ex Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan oleh pemerintah, HTI adalah organisasi terlarang, sama dengan PKI, sama-sama organisasi terlarang. Mengapa orang yang membawa bendera/atribut PKI koq pada rame-rame dan mengapa orang yang membawa bendera/atribut HTI koq pada diam ya? Maaf mana Penegak Hukum ya koq tidak ada ketegasan masalah atribut/bendera HTI? Ex HTI yang selalu mencari celah dengan segala cara untuk menggelar “dakwah politik” guna mewujudkan negara berbentuk Khilafah. Bahkan di tengah hiruk-pikuk Pandemi Corona dan tragedi kemanusiaan George Floyd di AS, mereka makin rajin bermanuver melalui ragam isyu-isyu sensitif. Belum lama ini, mereka juga menggelar konsolidasi virtual bertema “Komunisme dan Oligarkhi Dibalik RUU HIP, Meminggirkan Agama, Meng-Agama-kan Pancasila?”. Selain dua nara sumber utama; Ismail Yusanto dan Prof Suteki SH, M.Hum, (Pecatan UNDIP Semarang) juga hadir Prof DR Dien Syamsuddin (Mantan Ketum PP Muhammadiyah), DR Abdul Khair R, SH, MH, Dr Masri Sitanggang (DDI), dan Sugi Nur Raharja.

Prof Suteki merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang sekaligus pakar filsafat Pancasila. Bagi Ex HTI, Suteki merupakan tokoh penolong karena bersedia menjadi saksi ahli sewaktu Ormas yang dibubarkan berdasarkan Perpu No 2 Tahun 2017 itu mengajukan gugatan ke PTUN. Meski akhirnya gugatan HTI ditolak, namun jalinan pertemenan itu pun berlanjut, apalagi setelah Prof Suteki dipecat dari Undip. Sebetulnya, ihwal dugaan Prof Suteki sebagai pendukung sekaligus aktifis Ex HTI masih perlu diinvestigasi karena sanksi yuridis tidak boleh dilakukan secara semena-mena.

RUU HIP ini juga pernah viral karena polemik kecil yang dimulai dari sentilan Fadli Zon kepada Menkopolhukam Mahfud MD. Anggota DPR RI dari Gerindra yang dikenal cukup dekat dengan sejumlah tokoh Ex HTI itu awalnya menyindir Mahfud MD terkait RUU HIP. Dalam twitternya, Fadli Zon menyindir Menkopolhukam dengan kalimat, “Ini RUU yang sama sekali nggak penting. Hari gini masih bicara Haluan Ideologi Pancasila. Apa urgensinya?” Tentu saja cuitan Fadli Zon langsung langsung direspon Prof Mahfud MMD dengan jawaban cukup telak, “Hahaha, Bung Fadli. Yang usul RUU HIP itu lembaga Anda. DPR yang usul, termasuk Gerindra, bukan Pemerintah,” tulis Mahfud. Ini hanya sekedar contoh, metode dakwah yang dikembangkan oleh komunitas lain dengan cara-cara yang tidak elegan.

Kontroversi berbagai RUU belakangan ini makin menjauhkan jarak kepercayaan rakyat dengan para wakilnya. Mereka seakan berjuang dan membangun tataran kenegaraan bukan untuk jutaan rakyat Indonesia yang telah memilihnya. Kontroversi itu makin lengkap dengan tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966. Tentu, kontroversi ini jadi makanan empuk bagi Ex HTI untuk memperlebar ruang kegaduhan dengan membincangkan hal-hal mendasar yakni Pancasila. Apalagi sejak awal mereka sudah menolak Pancasila karena dianggap “thoghut”.

Sebagai sebuah gerakan, HTI yang dibawa ke Indonesia oleh aktifis HTI Australia tahun 1983 itu mengalami masa-masa keemasannya pada era tahun 2010-an. Pada 2013, HTI menggelar Muktamar Khilafah secara serentak di berbagai kota dan puncaknya pada 2 Juni 2013, HTI menggelar Muktamar Khilafah di Gelora Bung Karno dengan tema “Mengokohkan Kembali peran Khilafah di Tengah Arus Perubahan Dunia”. Dua tahun berselang, tepatnya 30 Mei 2015 HTI juga menghelat hajat akbar berupa Rapat Akbar & Pawa Akbar HTI di Gelora Bung Karno dengan tema “Bersama Umat Tegakkan Khilafah.” Kendati secara vulgar telah menyatakan ideologi lain di luar Pancasila, namun negara seakan tak merasa terganggu sehingga kerikil itu akhirnya benar-benar telah menjelma jadi batu sandungan.

Mabroer MS *) Aktivis NU