
Filosofi Memasak di Bambu bagi Orang Minahasa
“Rasa bumbunya sampai ke jiwa raga jika memasak di buluh,” ucap Dr. Denni Pinontoan.
Ketua Umum DPP Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK), Dr. Ronny F. Sompie, SH, MH, tampak antusias saat mengikuti bincang-bincang Wisata Budaya yang diselenggarakan oleh KKK. Mantan Kepala Divisi Humas Polri ini mengapresiasi materi serta gagasan yang terlontar dalam acara siaran langsung tayang di kanal YouTube Kerukunan Keluarga Kawanua pada Minggu, 27 Juni 2021. Mereka mengusung tema “Tradisi Memasak di Buluh”.
Moderator Jeirry Sumampouw menceritakan sedikit latar belakang mengenai memasak di bambu atau lebih sering disebut buluh oleh orang Minahasa. Hal tersebut adalah suatu kegiatan mengolah makanan dengan menggunakan bambu yang dibakar di atas bara api.
Bagi masyarakat Minahasa memasak di buluh adalah suatu tradisi yang dilakukan pada saat acara-acara penting. Cara memasak secara tradisional ini masih bertahan di masyarakat Minahasa. Bahkan menjadi daya tarik utama orang-orang untuk datang ke suatu acara jamuan jika menu ini terhidang di meja panjang .
Dr. Dominica Diniafiat, ST, MM mengangkat bagaimana kearifan lokal tradisi memasak dalam buluh menjadi sesuatu yang bermanfaat di masa depan. Pegiat dan peneliti budaya nusantara ini menuturkan bahwa tradisi tersebut bisa bertahan jika orang minahasa kreatif dan inovatif.
“Terutama dalam melakukan tambahan menu dengan kemasan yang kekinian dan modern,” jelas pemilik dari AJD Sahabat Budaya. “Dengan menggunakan teknologi pengawetan hingga bahan baku bersih, sehat, dan segar,” saran dosen Dominica.
Pegiat budaya Mawale Movement, Dr. Denni Pinontoan menjawab sang dosen Dominica dengan mengatakan, “Inilah yang membuat tradisi ini tetap bisa bertahan, yaitu tidak hanya sekedar komoditi, tapi dia bermakna spiritual, bermakna kebersamaan.”
Sebelumnya pria berprofesi dosen dan seorang theolog tersebut menjelaskan, “Dari meja makan semua dimulai, dan semua berakhir.” “Lahir, orang (minahasa) merayakan di meja makan. Mati, orang (minahasa) merayakan di meja makan.” tegas Denni.
Sementara Pdt. Audy Wuisang, STh, MSi, pegiat budaya, sekaligus theolog, menjelaskan bahwa mengolah masakan menggunakan bambu adalah suatu kegiatan mapalus (gotong royong) karena membutuhkan proses yang tidak singkat. Juga terdapat aspek spritual yang menyatu setelah Kekristenan datang.
“Tradisi ini tetap terjaga,” imbuh Waketum III DPP KKK. Walau tidak sudah keluar dari tanah Minahasa tapi hal ini tetap dilakukan, Sekjen PIKI ini menambahkan.
Acara berdurasi 2 jam lebih ini dibawakan oleh 3 orang dalam sesi berbeda. Mereka adalah Jeirry Sumampouw, Pdt. Treisje Mambo, dan Herling Tumbel, M. Kom.
Tak lupa Ronny Sompie mengucapkan terima kasih kepada para narasumber, moderator, dan para peserta diskusi dari Kawanua juga di luar Kawanua yang adalah pemerhati kebudayaan dan kuliner. Wasekjen DPP KKK, Rachel Tuerah turut ikut mengucapkan terima kasih di penghujung acara.