
Ayo Anies Jangan Cuma Bibir Yang Bergetar
Oleh : Eko Kuntadhi
Anies Baswedan konfrensi pers. Bibirnya bergetar.
Ia menyebutkan ada 283 jenazah yang dimakamkan karena Covid19. Karena jumlah itulah dia bergetar. Ia ingin menunjukan ketakutan. Jakarta parah, coy. Yang mati banyak.
Orang kaget. Pasalnya sampai hari ini, menurut data BNPB jumlah pasien positif Corona yang wafat secara nasional ada 122 orang. Lho, kok Jakarta nyelonong sendiri menyebutkan angka 283 orang sampai bibirnya bergetar begitu.
Memang, Anies tidak menyebutkan pasien positif. Ia hanya menyampaikan orang yang pemakamannya menggunakan protap Covid19.
Tapi untuk apa ia melansir angka itu? Untuk membuat ketakutan publik makin kuat. Atau untuk membuat publik meragukan data nasional. Sehingga muncul ketidakpercayaan pada pemerintah pusat.
Kita tahu, bangsa ini suka dengan drama. Gampang terbuai dengan kisah yang menye-menye. Apalagi sampai bibirnya bergetar segala, kayak HP yang ringtone-nya mati.
Masalahnya dalam kondisi sekarang, apa perlu main drama? Rakyat membutuhkan hasil kerja. Bukan drama menye-menye.
Saat ini yang lebih dibutuhkan rakyat adalah kerja yang serius. Kerja butuh duit. Pemerintah pusat sudah merealokasi anggaran RP158 triliun untuk mengantisipasi Corona. Selain itu, Menteri Keuangan diperintahkan menahan pengeluaran yang bisa ditunda sekitar Rp60 triliunan. Semua difokuskan untuk memerangi wabah ini.
Presiden meminta Pemda-pemda juga ikut melakukan realokasi anggarannya. Seruan ini bersambut. Pemerintah Jawa Tengah sudah mengalokasikan Rp1,4 triliunn untuk mengantisipasi problem Covid19. Belum lagi ditambah anggaran Kabupaten Kota yang berada di Jateng.
Tampaknya besaran anggaran itu akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Jika dibutuhkan, akan diusahakan penambahan anggaran lagi yang diambil dari beberapa mata anggaran yang bisa digeser.
Pemda Jabar juga kabarnya sudah bersepakat dengan DPRD Jabar untuk alokasi sampai Rp18 triliun. Selain membiayai perang terhadap virus, juga untuk mengantisipasi problem ekonomi masyarakat Jabar.
Sayangnya sampai sekarang Pemda DKI belum melakukan langkah apa-apa untuk refocusing anggarannya. DKI hanya mengandalkan anggaran bencana Rp153 miliar. Mungkin juga mengandalkan bantuan pemerintah pusat dan donasi dari masyarakat.
Padahal Ketua DPRD DKI sudah teriak, pemda bisa mengalihkan anggaran Formula E untuk memerangi wabah ini. Jumlahnya kan bisa sampai Rp1,6 triliun. Sedangkan dalam hitungan Indonesia Budget Center ada Rp11 triliun anggaran Pemda DKI yang mestinya bisa dialihkan untuk perang terhadap virus ini.
Jika hanya Rp153 miliar, sementara Jakarta adalah epicentrum terbesar, mana mungkin bisa serius memerangi wabah. Apalagi sampai mengantisipasi dampak ekonominya karena sejak lama Jakarta menghentikan kegiatan kantor.
Kalau ekonomi dihentikan tanpa ada kompensasi bagi masyarakat, bagaimana publik bisa nurut untuk sosial distancing. Mereka butuh makan.
Tapi kadang orang salah kira. Siapa yang paling banyak omong dianggap paling banyak kerja. Padahal kerjanya cuma ngomong sampai bibirnya bergetar.
Saya sih, simpel. Saat ini ukuran kerja salah satunya dinilai dari berapa besar anggaran yang dialokasikan. Kalau anggarannya pelit, boro-boro bisa kerja. Boro-boro bisa mengantisipasi dampak Covid19. Paling hanya cukup untuk membiayai konfrensi pers doang.
Tapi mungkin, inilah politik anggaran. Seolah-olah paling banyak kerja. Paling heboh teriak soal wabah. Paling gercap. Tapi gercapnya cuma di media. Cuma bicara di konfrensi pers. Ketika diminta untuk keluarin duit buat bertindak riil, dia melengos. Gue yang teriak, lu yang keluarin duit. Begtu mungkin arahnya.
Kita semua tahu, wabah gak akan hilang cuma dengan konfrensi pers.
“Iya, ya mas. Masa untuk menghadapi wabah, seorang pemimpin cuma bibirnya doang yang bergetar. Kantong dan tangannya malah nyantai,” celetuk Kumkum.
www.ekokuntadhi.id