
Ananda Sukarlan : Ekonomi Kreatif Indonesia, apakah kreatif dan ekonomis?
Menjelang tur konser nasionalnya “Rapsodia Nusantara” ke Makassar dan Surabaya mulai minggu depan bersama pianis autis dan tunanetra 16 tahun Michael Anthony, insee.id berbincang dengan pianis dan komponis Ananda Sukarlan tentang pendidikan musik di Indonesia, di Rumah Daksha. Berikut transkrip dari bincang-bincang kami.
Karya musik dan lagu itu sepatutnya mengandung unsur edukasi serta memberikan inspirasi kepada anak-anak dan para remaja. Apalagi pendidikan seni dan musik ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pembuat kurikulum.
Selain kurikulumnya harus lebih simpel, anak pun harus dibebaskan untuk membangun identitas dirinya sendiri. Jangan dicekokin harus bernyanyi lagu apa dan harus memainkan instrumen apa. Karena itulah yang sedang terjadi di dunia pendidikan kita.
Musik mulai memasukkan unsur edukasi dan inspirasi didalam syair atau liriknya dimana musik itu sudah mulai di tahun 1920 -an. Sementara kita sudah memiliki tokoh pendidikan yang hebat yakni RM. Suwardi Suryaningrat atau yang lebih terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Dialah yang memiliki metode Sari Swara, dimana pendidikan itu berasal semuanya dari seni, terutama seni musik.
Seperti diketahui, Ki Hajar Dewantara saat di Belanda pernah bertemu dengan Maria Montessori. Dan keduanya mempunyai metode pendidikan yang hampir mirip. Tapi saat itu di Indonesia justru menggunakan metode Montessori padahal di Indonesia lebih cocok dengan metode Ki Hajar Dewantara. Montessori adalah orang Italia, orang barat, dan orang Indonesia sering mengira kalau kita pakai metode barat pasti lebih keren.
Padahal kalau kita pakai metodenya Ki Hajar Dewantara untuk pendidikan, untuk saat ini (dimana pada saat ini pendidikan seni itu cukup parah, red) di sekolah-sekolah pada umumnya di Indonesia, maka itu akan sangat baik sekali untuk generasi muda Indonesia kedepan. Karena metode Ki Hajar Dewantara mengaktifkan otak bagian kanan yang berhubungan dengan segala hal tentang kreatifitas dan imajinasi.
Jadi kita mesti lihat lagi metode Ki Hajar Dewantara untuk pendidikan anak-anak di Indonesia, terutama di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Metode Sari Swara itu adalah mengajarkan semua ilmu pengetahuan itu lewat musik dan lirik lagunya, sehingga terasah otak bagian kanannya. Hal inilah yang paling penting pada saat ini bahwa otak kanan kita itu mengalami degradasi bukan hanya di Indonesia tetapi hampir di seluruh belahan dunia.
Sebagai contoh, kita bisa lihat misalnya William Shakespeare di abad 16 itu kurang lebih menggunakan sekitar 31.600 kata-kata bahasa Inggris dalam seluruh karyanya. Sedangkan kamus bahasa Inggris modern saat ini hanya 20.000 kata. Jadi sejak jaman Shakespeare sampai sekarang, dalam 400 tahunan bahasa Inggris kehilangan kata sekitar 11.600 kata. Kalau dalam musik, bandingkan saja musik polifonik zaman Barok sampai musik pop saat ini, dimana persepsi aural kita sekarang ternyata hanya mampu mencerna sebuah melodi yang sederhana diiringi akord yang juga minim dan repetitif.
Perbendaharaan kata yang berkurang menunjukkan bahwa kita sudah tidak punya imajinasi lagi. Contohnya, istilah “melihat” ya sudah melihat saja, padahal “melihat” itu zaman Shakespeare ada berbagai cara (sampai 21 kata: to see, to watch, to look at, to glance, to stare dst.) dan itu membuat sesuatu atau cara berkomunikasi kita lebih spesifik dan kita bisa lebih berimajinasi. Hal-hal seperti itu yang sekarang ini sungguh berkurang.
Jadi menurut saya metode yang diajarkan Ki Hajar Dewantara itu bisa diaplikasikan lagi ke pendidikan di Indonesia. Itu akan membuat manusia Indonesia akan lebih maju, dan bukan hanya maju ilmu pengetahuannya dan cara berpikir teknisnya, tetapi juga secara kreatif dan imajinatif.
Bahkan dunia pendidikan seni itu bukan semata tentang itu itu saja. Pendidikan seni justru membebaskan siapapun berpikir tentang apapun. Jadi anak-anak itu terus berpikir secara imajinatif dan berfikir secara kritis. Tidak selalu hanya salah atau benar. Langit tidak selalu biru, daun tidak selalu hijau.
Adalah tanggung jawab pemerintah, melalui guru-gurunya, dimana semua dibikin menjadi gampang karena semuanya diseragamkan. Keseragaman anak didik bukanlah keberagaman sebetulnya. Karena dengan keberagaman mereka, semakin mereka mengenal diri mereka sediri dan kemudian mengenal identitasnya. Setiap individu itu berbeda, kita punya kelebihan dan juga kelemahan, jangan sampai kita itu diseragamkan.
Orang itu nggak perlu harus bisa atau mengerti semua hal, sama seperti Bill Gates, kalau dia diajarin piano, dia tidak akan jadi seperti Bill Gates yang sekarang. Sama juga seperti saya kalau saya disuruh kutak-katik soal microsoft atau soal program komputer, saya tidak akan jadi siapa-siapa karena saya tidak mengerti hal itu.
Jadi dunia pendidikan itu adalah bagaimana melihat potensi anak itu, bukannya anak itu supaya bisa pinter dalam segala hal.
Peran industri musik di Indonesia terhadap edukasi anak itu harus di kritisi karena industri musik itu adalah yang penting musik itu gampang dicerna. Padahal seni itu beda dengan hiburan. Karya seni yang baik belum tentu menghibur, karena itu adalah ekspresi yang paling dalam dan jujur. Jadi justru bisa bikin sedih atau marah. Itu sebabnya juga kualitas artistik tidak bisa dinilai dari segi finansial. Film box office belum tentu tinggi kualitas artistiknya.
Melalui konser-konser dan seminarnya Ananda Sukarlan selalu mengingatkan bahwa daya kreatif dan imajinatif itu sangat turun, dan sebenarnya dengan metode Sari Swara dari Ki Hajar Dewantara kita bisa membuat manusia Indonesia menjadi jauh lebih unggul. Icha Anggraeni